Assalamu
alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Indonesia
adalah negara raksasa (dalam konteks luas wilayah) yang dihuni oleh mayoritas
penduduk yang beragama Islam. Ada kurang lebih 150 juta masyarakatnya beragama
Islam, bahkan Indonesia sampai detik ini masih tercatat sebagai negara dengan
jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Dengan predikat tersebut,
otomatis jumlah mesjid sebagai tempat ibadah umat Muslim sangat banyak
bertebaran dari Sabang sampai Merauke. Jumlahnya mungkin sampai ratusan ribu
bahkan jutaan.
Tulisan
ini lahir dari pemikiran spontan penulis saat sedang melaksanakan sholat Jumat
di salah satu mesjid terbesar yang ada di kota penulis. Tulisan ini bukan karya
ilmiah yang lahir dari penelitian panjang dan berdasar pada kajian tentang ayat
ayat suci Al Quran dan Al Hadist. Tulisan ini hanya buah dari pemikiran hamba
Allah yang datang secara tiba tiba dan dituangkan dalam bentuk tulisan. Jika
terdapat kesalahan mohon kiranya untuk segera dikritik dan penulis sebelumnya
mohon maaf yang sebesar besarnya.
Siang
itu, penulis melaksanakan salah satu kewajiban umat Muslim yaitu shalat Jumat
berjamaah. Salah seorang teman mengajak untuk shalat di mesjid yang lokasinya
sangat jauh dari rumah. Meskipun begitu, jarak yang cukup jauh berganti dengan
kekaguman karena mesjid ini sangat megah dengan desain arsitektur yang mewah
dan gemerlap. Mesjid ini adalah mesjid terbesar yang ada di kota penulis,
bahkan konon katanya mesjid ini adalah yang terbesar di Indonesia bagian timur.
Mesjid ini dibangun dari mimpi seorang jenderal
besar tanah air yang merupakan putera daerah untuk membangun sebuah Islamic
Center terbesar dan terlengkap di kota kelahirannya. Penulis secara pribadi, sangat
mengagumi sosok jenderal besar ini, meski tak pernah melihat sosok beliau
secara langsung. Selain turut andil dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, beliau
juga sosok yang religius dan dermawan. Menurut cerita cerita kawan dan
keluarga, saat beliau wafat, seluruh kota di guyur hujan deras selama kurang
lebih setengah jam, padahal saat itu sedang musim kemarau, mungkin bumi pun
berduka dengan kepergiannya. Saat itu penulis masih duduk di bangku sekolah
menengah pertama di kota lain.
Lantai
dan dinding mesjid tersebut terbuat marmer hitam yang mengkilap, bangunannya
menjulang tinggi, membuat penulis semakin tampak kecil. Terdapat ukiran
kaligrafi yang terbuat dari kayu jati di sudut sudut dinding mesjid. Setelah
melakukan shalat tahiyatul mesjid, penulis duduk bersama jemaah lain. Di shaf
terdepan, kami temui beberapa pejabat daerah dan beberapa tokoh masyarakat dan
tokoh politik yang wajahnya tampak tidak asing. Kami menanti da’i untuk
memberikan tauziyah agama. Sebelum memulai ceramah, sudah menjadi kebiasaan dilakukan
oleh pengurus mesjid untuk memaparkan laporan keuangan mesjid yang bersumber
dari donatur jemaah selama seminggu.
Pengurus mesjid melaporkan berapa pemasukan yang diperoleh dan berapa
pengeluaran, serta untuk digunakan untuk apa pengeluaran tersebut.
Laporan
ini untuk sebagai suatu bukti bahwa pengurus mesjid bersifat transparan kepada
para donatur yang telah mengeluarkan dananya. Tentulah para donatur berharap
dana yang telah mereka sedekahkan akan digunakan untuk hal hal yang berkaitan
dengan dakwah dan perjuangan di jalan Allah swt. Penulis duduk pada shaf tengah
yang telah dipenuhi oleh jemaah lain, salah seorang pengurus mesjid berdiri di
samping mimbar dan mulai membacakan laporan keuangan mesjid.
Penulis
agak tersentak kaget ketika pengurus mesjid membacakan jumlah saldo keuangan mesjid
yang angkanya sangat spektakuler, nyaris menyentuh angka milyaran rupiah. Itu
adalah angka saldo keseluruhan, sedangkan saldo untuk minggu ini berjumlah
puluhan juta rupiah. Penulis yang selama ini kurang memperhatikan laporan
pengurus mesjid jika sedang membaca laporan kas berbisik kepada kawan yang
duduk di samping, menyatakan kekaguman sekaligus keterkejutan.
Menurut kawan tersebut, hal itu wajar wajar saja, karena para donatur bukan hanya berasal dari kalangan menengah kebawah, banyak pejabat daerah dan tokoh pengusaha yang menjadi donatur. Jika mereka menyumbang tentulah tidak dengan jumlah recehan seperti halnya penulis yang memasukkan uang ke celengan mesjid paling tinggi hanya dua puluh ribu rupiah, itupun hanya sekali selama hidup, hehee, selebihnya hanya lima ribu, sepuluh ribu, kebanyakan dua ribu rupiah, hahahaa…
Menurut kawan tersebut, hal itu wajar wajar saja, karena para donatur bukan hanya berasal dari kalangan menengah kebawah, banyak pejabat daerah dan tokoh pengusaha yang menjadi donatur. Jika mereka menyumbang tentulah tidak dengan jumlah recehan seperti halnya penulis yang memasukkan uang ke celengan mesjid paling tinggi hanya dua puluh ribu rupiah, itupun hanya sekali selama hidup, hehee, selebihnya hanya lima ribu, sepuluh ribu, kebanyakan dua ribu rupiah, hahahaa…
Namun,
ada yang satu hal yang mengusik perhatian penulis, yaitu saat pengurus mesjid membacakan
info tentang pengeluaran dana untuk upah penceramah. Di infokan bahwa jumlah
upah dari seorang penceramah adalah dua juta rupiah untuk sekali naik ke atas
mimbar, waktunya tidak sampai setengah jam, itu hanya untuk penceramah pada
saat shalat Jumat, belum untuk penceramah lainnya. Apakah itu jumlah yang cukup
besar? atau normal normal saja? Tergantung… Jika kita bandingkan dengan nominal
saldo mesjid secara keseluruhan, jelas itu adalah nominal angka yang sangat
kecil, namun jika membicarakan tentang uang dua juta rupiah dalam kacamata
masyarakat kelas bawah, itu adalah angka yang fantastis.
Mengenai
upah da’i penceramah yang tarif nya seringkali berharga selangit, penulis jujur
agak risih, mohon maaf jika lancang. Menurut penulis, penceramah agama itu
bukanlah sebuah profesi, tetapi sebuah jihad kepada Allah untuk menyebarkan
kebenaran dan wahyu Allah swt. Da’i atau ustadz adalah wali Allah di dunia
sepeninggal nabi dan para rasul. Wajar memang jika ustadz di upah, toh mereka juga
seorang manusia, mereka punya keluarga, isteri, anak anak, tetapi apakah wajar
jika kemudian mereka memasang tarif? kemudian menolak sebuah mesjid yang
memberi upah di bawah standar yang mereka berikan?? Apakah telah banyak di
negara ini ustadz ustadz tenar yang bermegah megahan dengan kekayaan, rumah dan
mobil mewah sementara umat masih hidup dalam kemiskinan? Jika niatnya menjadi
kaya dunia, jadilah seorang pengusaha, jangan menjual ayat ayat Allah hanya
untuk menumpuk materi dan melupakan bahwa ustadz itu adalah orang orang yang
suci dan tulus kepada Allah swt dunia akhirat.
Penulis
mendengarkan ceramah, namun pikiran terus menerawang kemana mana, ternyata bukan
hanya di mesjid ini, setelah berkeliling mesjid yang ada di kota tempat tinggal
penulis, ternyata hampir semua mesjid memiliki jumlah saldo yang cukup besar,
rata rata mesjid besar saldonya mencapai ratusan juta rupiah. Bagaimana dengan
jumlah uang yang cukup besar tersebut mesjid turut berpartisipasi dalam
kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang masih miskin? Bukankah itu juga
termasuk memperjuangkan agama di jalan Allah swt? Penulis berdiskusi ke
beberapa kawan, dan mereka berkesimpulan bahwa rakyat Indonesia yang masih
miskin ini bukan ruang lingkup mesjid, tetapi merupakan tanggung jawab negara
dalam hal ini pemerintah.
Sangat
benar dan masuk akal karena sesuai undang undang, negaralah yang memainkan
peran dalam memakmurkan rakyatnya, negara berkewajiban melindungi dan melayani
kebutuhan dasar bagi rakyatnya. Sumber keuangannya dari pajak yang dipungut dan
sumber sumber keuangan lainnya seperti eksplorasi kekayaan alam dan investasi.
Yang menjadi permasalahan adalah sudah benarkah pemerintah kita dalam
menjalankan kewajibannya? Jawabannya adalah belum, karena yang terjadi adalah
manajemen kas negara tidak tepat dan efektif, banyak pengeluaran negara yang
semestinya digunakan untuk kepentingan rakyat justru dihabiskan oleh kepentingan
kepentingan yang memang tidak penting dan lebih bersifat individualistik maupun
golongan.
Indonesia
negara kaya dengan hasil alam yang melimpah, pajak tinggi, namun pemborosan
juga tinggi. Pelunasan utang negara (yang konon sudah tak mungkin lagi untuk
dilunasi), koruptor merajalela, mafia proyek bertebaran, pegawai negeri sipil
yang kerja nya tidak jelas sangat banyak jumlahnya, gaji dan tunjangan anggota
dewan cukup besar, upah studi banding para pejabat mencapai triliunan rupiah
dll. Pemborosan dan penyimpangan tersebut diatas sangat menguras kas negara,
dana yang digunakan untuk kepentingan rakyat hanya sisa sisa apabila pemborosan
pemborosan tersebut telah selesai dilakukan. Jadi keuangan negara sebenarnya
tidak sepenuhnya digunakan untuk memberantas kebodohan dan kemiskinan rakyat.
Toh,
tak ada yang mampu merubah semua itu, tak ada yang mampu memberontak pada
pemimpin kita yang sudah rusak dan bobrok ini. Meski tampak beberapa orang yang
terlihat idealis memperjuangkan kebenaran, tapi pada akhirnya mereka sendiri terjebak
dalam pusaran ketidakbenaran. Para aktivis mahasiswa misalnya, saat masih
kuliah mereka terlihat bak seorang pejuang rakyat, mereka berada di garda terdepan
pada medan pertempuran ketika melawan kejahatan, tetapi saat telah selesai
kuliah, suara mereka hilang. Beberapa tahun kemudian, wajah wajah mereka
memenuhi sudut sudut kota, wajah gagah mereka memenuhi tiang tiang listrik,
pohon, jalanan dan sebagainya, mereka mencalonkan diri menjadi wakil rakyat
yang penuh dengan janji janji surgawi.
Beberapa
tahun lagi setelah itu, wajah mereka kembali menghiasi televisi televisi, koran
dan portal berita online karena terbukti melakukan kejahatan seperti korupsi
dan mafia proyek. Sang pembela kebenaran menjadi aktor ketidakbenaran itu
sendiri. Seperti itu terjadi terus, bak sebuah putaran roda yang tiada akhir
dan letihnya.
Sampai
kapan rakyat miskin mendapatkan haknya untuk hidup layak jika terus seperti
ini, miskin tambah miskin dan kaya tambah kaya. Setelah melakukan shalat Jumat
kemarin saya seperti menemukan sebuah kekuatan dan cahaya baru yang sepertinya
mampu menerangi negara yang gelap ini. Kekuatan memang bukan melulu tentang
uang yang melimpah, akan tetapi setidaknya uang bak sebuah bahan bakar yang
dapat menimbulkan cahaya sebagai penerang. Dan kekuatan tersebut terdapat pada
mesjid!. Mesjid punya kekuatan yang maha dahsyat jika dikelola dengan benar dan
modern, mesjid bisa menjadi solusi dari permasalahan bangsa, meski tidak
menjadi kewajiban mutlak karena kewajiban tetap ada pada pundak negara, tetapi
setidaknya mesjid turut berperan pada kehidupan sosial masyarakat. Ada pepatah
mengatakan “Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin”. Pun,
Allah swt memerintahkan kebaikan antar sesama umat manusia, habblum minannas,
habblum minnallah (baik sesama manusia dan baik kepada Allah swt).
Lalu
bagaimana peran mesjid yang dimaksudkan? Jadi, saldo keuangan mesjid mesjid
besar yang jumlahnya mencapai ratusan juta itu hendaknya tidak melulu hanya
digunakan untuk kemakmuran mesjid, upah penceramah yang selangit, tetapi juga
digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dari umat, minimal
yang berada di sekitar lokasi mesjid. Penulis memiliki ide bagaimana jika
pengurus mesjid dan beberapa donatur tetap mencanangkan program yang bernama “Jihad
Berantas Kebodohan”. Jadi dengan program ini, mesjid setiap dua atau tiga tahun sekali
memilih dan memilah anak anak putus sekolah yang disebabkan ketidakmampuan
biaya untuk kembali bersekolah dengan biaya yang ditanggung dengan menggunakan
kas mesjid. Cukup satu anak saja setiap dua tahun atau tiga tahun sekali.
Jadi,
anak yang terpilih disekolahkan, baik di pesantren maupun sekolah umum, kalau
bisa sampai tingkat sekolah menengah atas. Penulis mengkalkulasi jika dana yang
terkumpul di mesjid yang setiap minggunya mencapai puluhan juta itu sangat
cukup bahkan masih tersisa sangat banyak jika hanya digunakan untuk uang
sekolah dan peralatan sekolah dari anak tersebut. Bayangkan jika program ini
terwujud, jumlah mesjid di satu kota hitunglah sekitar 200 buah, maka ada 200
anak putus sekolah yang bisa diselamatkan masa depannya.
Kemudian
program yang kedua adalah “Jihad Memberantas Kemiskinan”. Program ini lebih
fokus pada peningkatan ekonomi rakyat. Jadi, pengurus mesjid memilah dan
memilih masyarakat sekitar mesjid yang mana kiranya hidup dalam kondisi ekonomi
memperihatinkan (melarat.com). Masyarakat yang terpilih akan diberi modal usaha
dan pelatihan kewirausahaan, tidak perlu modal besar, mungkin dengan modal sebesar
Rp 6-7 juta itu sudah bisa membuat kios, warung makan atau usaha lainnya. Nah,
untuk program ini, pihak mesjid dapat memberi modal usaha dalam bentuk kredit,
di angsur perbulan tanpa jaminan dan tanpa bunga. Jika seperti itu, tak ada pihak
yang dirugikan. Program ini bisa dilakukan setahun sekali dan tentu saja selama
menjalankan usaha tersebut, masyarakat yang terpilih harus terus di dampingi
dan diberi pelatihan agar tidak bangkrut atau gulung tikar.
Jika
program kedua ini terwujud, maka kedepannya ekonomi rakyat perlahan akan
menjadi kuat dan mandiri. Dengan kuatnya ekonomi dan semakin berkurangnya angka
anak yang putus sekolah, tentu akan berdampak positif terhadap sektor sektor
lainnya, termasuk mengurangi jumlah kejahatan, maksiat, dan hal hal negatif
lainnya yang menjadi musuh agama.
Yang
perlu digaris bawahi adalah, mesjid jangan seperti negara Indonesia yang tidak
mampu mengatur kas keuangannya untuk sesuatu yang positif, mesjid jangan hanya
dibangun secara fisik, bermegah megahan, berlantai permata, berkubah emas,
namun melupakan hakekat pembangunan mesjid yaitu tempat beribadah kepada Allah
swt. Bukankah Allah swt sendiri melarang makhluk-Nya untuk berbuat yang
berlebihan??
”Hai anak Adam, pakailah pakaianmu
yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah dan jangan belebih
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang berlebihan”
(QS. Al A’raaf ayat 31).
Di
akhir tulisan, penulis kembali memohon maaf apabila ada pihak yang merasa
tulisan ini tidak layak atau menyalahi norma norma agama. Penulis hanya
melontarkan pemikiran spontan tanpa mengandung maksud apa apa. Kritik dapat
dikirim melalui email penulis di wishnu.mahendra777@gmail.com.
Terima kasih dan Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.